OTT KPK dan Ke-“ndablek”-an Publik

Ada yang ditangkap di kantor, ada yang sedang rapat, bahkan ketika mandi. Ada yang ditangkap saat menerima uang, setelah transaksi, atau setelah penyuapnya pergi.

Terlepas dari perdebatan definisi, secara mudah semua kejadian penangkapan pejabat negara itu oleh KPK disebut operasi tangkap tangan ( OTT).

Enambelas kali OTT pada 2016 adalah OTT terbanyak dalam setahun sepanjang sejarah KPK. Tapi tahun 2017 ini, KPK berpeluang memecahkan rekor. Hingga September, pelaksanaan OTT sudah menyamai jumlah tahun sebelumnya.

Setiap orang tentu boleh mengemukakan analisisnya. Tapi dari semua kemungkinan, saya berharap semoga maraknya OTT akhir-akhir ini bukan dipicu kontestasi dengan DPR yang sedang menggulirkan pansus hak angket KPK. Pansus mulai bekerja Juni. Sejak itu rangkaian OTT gencar digelar KPK. Seolah-olah, tegangnya suasana Senayan diimbangi dengan penangkapan kepala daerah di mana-mana. Sekali lagi kita tidak boleh membaca begitu. Sebab ada pansus atau tidak, ketika terjadi korupsi memang tidak boleh dibiarkan. KPK harus bertindak. Korupsi kecil atau besar, uang jutaan atau triliunan, dan tak peduli siapapun pelakunya, harus ditangkap.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang penanganannya juga harus extraordinary. Itulah mengapa KPK dilengkapi dengan berbagai perangkat penegakan hukum dari pencegahan hingga penindakan.

Mereka bertugas menangkap pejabat publik yang telah merampok uang negara, uang rakyat. Menangkap mereka yang mengkhianati kepercayaan rakyat dan sumpahnya pada Tuhan.

Saya ingat tahun lalu. Tepatnya 12 Februari 2016 ketika Presiden Jokowi melantik tujuh gubernur dan wakil gubernur hasil pilkada serentak 2015.

Seperti biasa, para pejabat baru itu diambil sumpah atas nama agama dan kitab suci. Tapi, bunyi sumpahnya ternyata ada tambahan. Selain menyatakan siap menjalankan tugas dengan berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945, pejabat baru itu juga bersumpah akan menolak berbagai macam pemberian.

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja, dari siapa pun juga yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa dia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya,” ucap para kepala daerah tersebut secara serentak.

Sumpah khusus terkait korupsi, gratifikasi, atau suap ini sebelumnya tidak pernah ada. Harapannya, tentu saja para kepala daerah itu akan mengingat bahwa pernah bersumpah demi kitab suci yang pertanggungjawabannya tidak hanya dunia, tapi juga akhirat.

Namun, ternyata sumpah itu tidak menjadi jaminan. Satu tahun empat bulan setelahnya, salah satu gubernur itu tertangkap OTT KPK.

Baiklah. Ternyata sumpah tidak korupsi pun bukan jaminan. Harus ada cara lain yang lebih teknis untuk mencegah korupsi. Jika tidak bisa menutup celah seluruhnya, minimal mempersulit.

Namun hal ini pun sudah banyak dilakukan dan belum berhasil. Celah korupsi ada di bidang perizinan, pengelolaan proyek, pengelolaan sumber daya manusia internal (promosi dan mutasi), dan titik-titik lain yang sudah banyak dipetakan.

Nyatanya pada saat yang sama selalu saja terjadi pengulangan terhadap korupsi di simpul-simpul yang sudah diingatkan itu. Kalau ada frasa “kebohongan publik” maka menurut saya korupsi masih merajalela karena ada ke-ndablek-an publik. Bagaimana tidak ndablek. Usai pilkada serentak pertama, saya mengajak
kawan-kawan bupati dan wali kota terpilih di Jateng untuk datang ke KPK
belajar tentang antikorupsi.

Saya sekolahkan mereka. Asumsinya, setelah sekolah mereka sudah sangat paham mana yang boleh dan tidak boleh.

Tapi rupanya pascasekolah, korupsi masih terjadi. Kita ikuti bersama-sama bagaimana KPK melaksanakan OTT di Klaten, Kebumen, dan Kota Tegal.

Tapi tentu saja ikhtiar tidak boleh ada kata menyerah. Ke-ndablek-an ini tidak bisa dibiarkan.

Maka daripada menghujat dan meminta Menteri Dalam Negeri untuk mundur atau mengatakan mereka yang berkuasa tidak becus mengurus negara, akan lebih baik jika proses pengelolaan uang negara dilakukan dengan sistem dan cara yang ditentukan bersama, disepakati, dan dilaksanakan bersama.

Belajar dari pengalaman pribadi memimpin pemerintahan daerah, saya mengusulkan beberapa hal berikut ini. Pertama, memastikan perencanaan pembangunan secara elektronik dengan e-plannning dan penganggarannya dengan e-budgeting.

Dengan cara itu, publik bisa mengetahui secara jelas untuk apa dan berapa duit negara dikeluarkan. Disamping itu, kita meminta kepada seluruh aparat penegak hukum bersama-sama mendampingi proses perencanaan dan penganggaran ini. Tujuannya agar efektivitas pelaksanaan bisa terkontrol.

Saya kira sudah saatnya Presiden memerintahkan Mendagri untuk memaksa seluruh daerah menggunakan sistem ini. Waktu pelaksanaannya segera ditentukan.

Bagaimana terhadap daerah-daerah yang melanggar atau tidak mau melaksanakan? Setidaknya dua hal ini bisa dilakukan.

Satu, menurunkan KPK untuk melaksanakan koordinasi supervisi dan pencegahan atau korsupgah. Jika masih ngeyel, maka bisa diturunkan sanksi dengan tidak memberikan bantuan keuangan kepada daerah.

Apakah sistem ini menjamin Indonesia bebas korupsi? Jika menjamin 100 persen tentu saja tidak. Tapi setidaknya sistem ini bisa mengurangi nafsu korupsi, karena segala proses ada kontrolnya. Celah yang ada tinggal niat jahat saja. Karena setinggi apapun tembok, kalau sudah niat melompat maka dikerahkanlah segala macam daya dan upaya.

Terakhir, tentu saja dukungan masyarakat. Sudah bukan masanya masyarakat
hanya dalam posisi diam dan melapor jika terjadi penyelewengan, tapi harus
aktif melakukan pengawasan bersama.

Lebih dari itu, sebagai warga negara juga harus menghilangkan ke-ndablek-an masing-masing. Korupsi bukan hanya istilah untuk pejabat.

Jangan hanya teriak-teriak antikorupsi tapi tetap mencoba nyuap ketika ditilang Pak Polisi. Jangan cuma ramai tagar #SaveKPK tapi ndaftar PNS masih nyogok juga.

Sumber: Kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *