Miris! Eks-Korban Bullying dan Pelecehan Terancam Alami Revictimisasi Akibat UU ITE

Penegakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia hingga kini belum juga secara tuntas berjalan maksimal. Wacana penghapusan sejumlah pasal hingga banyaknya pasal-pasal yang tumpang tindih masih banyak menimbulkan perdebatan. Di tengah penggodokan pasal-pasal, kasus pelecehan seksual perlahan kembali banyak bermunculan ke permukaan. Yang terbaru, bahkan pelecehan seksual tidak hanya banyak dialami oleh kaum wanita, namun juga kaum pria bahkan anak-anak.

Tidak jarang kasus pelecehan seksual juga dibarengi dengan kasus bullying yang dialami korban. Dengan berbagai alasan dan faktor, kasus pelecehan hingga kini masih terasa tabu sehingga masih banyak korban yang enggan bersuara dan memilih bungkam. Akibatnya, pengusutan kasus menjadi terhambat karena korban pun memilih bungkam dalam waktu yang relatif lama.

Keterbatasan korban untuk segera bersuara (dengan berbagai alasan), tentu membuat dampak traumatis semakin terasa. Ditambah lagi, bungkamnya korban bisa menjadi senjata ampuh untuk pelaku terus melancarkan aksinya entah kepada korban yang sama atau bahkan mencari korban selanjutnya. Jelas, kondisi ini adalah blunder mematikan yang seharusnya sudah menjadi perhatian serius para penegak hukum dan pemerintah.

UU ITE, Mempermudah atau Justru Mempersulit?

Di tengah kemelut kasus pelecehan seksual di Tanah Air hingga masih bimbangnya penegak hukum menentukan pasal-pasal terkait kasus pelecehan dan kekerasan seksual, UU ITE muncul dengan berbagai kontroversinya. Sejatinya, UU ITE muncul untuk melindungi hak-hak warga negara untuk berkespresi dan mengungkapkan pendapat secara “bijak” dan “tepat” melalui media sosial sesuai dengan aturan yang berlaku.

Memang, undang-undang ini muncul salah satunya sebagai bentuk perlindungan terhadap tingginya angka cyber bullying, penyebaran hoaks dan fitnah hingga berbagai kejahatan digital. Bagus memang secara konsep, namun secara tindakan aplikatif, apakah undang-undang ini benar-benar efektif?

Itulah yang hingga kini masih menjadi tanda tanya terkait keefektifan UU ITE yang hingga kini juga dianggap justru membungkam kebebasan berpendapat. Sejumlah aturan di dalam undang-undang ini juga dirasa melebih-lebihkan yang justru akan membuat citra bangsa sebagai negara Demokrasi menjadi sedikit mengalami keragu-raguan. Bahkan tak jarang, UU ITE kerap kali menjadi senjata untuk sejumlah oknum mengkambinghitamkan sebuah permasalahan menjadi sebuah kasus yang bisa dijerat dengan UU ITE.

UU ITE vs Penyelesaian Kasus Bullying dan Pelecehan Seksual

Salah satu oknum yang mengkambinghitamkan sebuah perkara dengan dalih pelanggaran UU ITE dan Pencemaran Nama Baik adalah oknum-oknum terduga pelaku kasus bullying dan pelecehan seksual.  Ketika para penyintas atau korban berusaha bersuara dengan melaporkan langsung ke pihak berwajib dan tidak cepat mendapat respon, maka jalur media digital adalah ibarat jalan ninja yang tepat untuk segera mendapatkan atensi netizen.

Sehingga, kasus bullying dan pelecehan seksual bisa cepat terungkap dan mendapatkan respon dari pihak berwajib setelah mendapatkan banyak dukungan dari netizen pengguna media sosial. Tentu, dampak positif  media digital yang luar biasa besar ini bisa menjadi senjata ampuh sebuah kasus bisa cepat diusut dan terangkat ke permukaan.

Namun, UU ITE juga bisa menjadi bom atom yang bisa sewaktu-waktu meledak tatkala seorang penyintas kasus pelecehan seksual dan bullying berusaha mencari keadilan dengan memanfaatkan media digital. Terduga pelaku bullying dan pelecehan juga ibarat mempunyai kartu AS yang bisa dengan leluasa melaporkan balik si korban dengan dalih UU ITE dan pencemaran nama baik. Hingga akhirnya, saling perkuat bukti dan sanggahan bisa menjadi senjata untuk masing-masing pihak membela diri.

Ironisnya, banyak kasus pelecehan dan bullying minim bukti. Terlebih untuk kasus-kasus yang sudah berlangsung lama. Sehingga, ibarat di kandang MMA, ketika dipertaruhkan, bukankah laporan terduga pelaku dengan dalih UU ITE bisa menjadi lebih kuat dari pengakuan korban?

Akibatnya, korban pun mengalami revictimisasi atau justru dianggap sebagai pelaku pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE. Jika sudah begini, pengusutan kasus pelecehan seksual dan bullying pun terhambat atau bahkan semakin jauh tertutup ke dasar wacana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *