Bagaimanakah Sanksi Pidana Terhadap Anak di Bawah Umur?

Bagaimanakah Sanksi Pidana Terhadap Anak di Bawah Umur– Baru-baru ini marak tindakan pidana yang melibatkan anak di bawah umur. Contoh tindakan pidana tersebut diantara tindak penganiayaan atau bullying yang mengakibatkan korban luka berat hingga meninggal dunia. Mengingat korban maupun pelaku masuk dalam ketegori anak, tentu hal ini menimbulkan polemik. Apakah terdakwa dalam pengadilan anak akan mendapatkan konsekuensi yang sama? Atau ada spesifikasi khusus terkait hak dan kewajibannya? Pada kesempatan ini, kita akan membahas terkait bagaimana sanksi pidana terhadap anak di bawah umur. Baca artikelnya berikut ini!

Pengertian Terdakwa Anak

Sebelum kita membahas terkait hukum pidana terhadap anak, alangkah baiknya kita pahami dulu, seperti apa kategori terdakwa anak di mata hukum. Pada dasarnya, anak yang melakukan tindakan pidana akan disebut dengan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Kategorinya adalah mereka yang telah berusia 12 tahun namun belum mencapai usia 18 tahun.

Karena ada kategori batasan usia, maka sudah bisa kita pastikan, akan ada spesifikasi khusus terkait konsekuensi dari tindakan anak yang berkonflik dengan hukum. Di Indonesia sendiri, terdapat UU Pidana Anak yang secara khusus membahas terkait bagaimana sanksi pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Bagaimana Sanksi Pidana Terhadap Anak?

Pada dasarnya, UU Pidana Anak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tetap akan menjaga mental dan kesehatan anak. Hal ini penting, karena anak diharapkan merasakan efek jera namun ia juga bisa mengambil pelajaran berharga sehingga di kemudian hari mereka bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Melalui UU ini, anak yang berkonflik dengan hukum juga diharapkan nantinya tetap mampu beradaptasi, bangkit dan tetap bisa menjalani kehidupannya dengan layak dan manusiawi.

UU Pidana Anak membagi sanksinya menjadi dua, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok bisa terbagi menjadi sejumlah bagian, seperti:

  1. Pidana peringatan
  2. Pidana dengan syarat berupa: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan
  3. Pelatihan kerja
  4. Pembinaan dalam lembaga
  5. Dan kurungan

Sementara itu, pidana tambahan adalah perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat. Kewajban adat sendiri adalah konsekuensi hukum yang berlaku atas sebuah tindakan pidana, misalnya, konsekuensi penjara dan denda.

Nah, perlu kita ingat bersama, bahwa asas penegakan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum haruslah tidak merampas hak dan martabatnya sebagai anak. Yang tentunya, diharapkan akan menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat di kemudian hari. Sehingga, proses pidananya haruslah tidak membahayakan kesehatan fisik sekaligus mental anak.

Seperti contoh, tindakan konsekuensi terhadap tindak pidana adalah denda, maka hal tersebut bisa diganti dengan kewajiban mengikuti pelatihan kerja yang diadakan oleh lembaga khusus. Atau juga misalnya konsekuensi tindakan pidana penjara, maka istilahnya diganti dengan mengikuti pembinaan Khusus Anak yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Sehingga selama mengikuti pelatihan atau pembinaan tersebut, anak yang berkonflik dengan hukum kehilangan akses kemudahan untuk keluar atau berinteraksi dengan orang secara bebas (diluar rutan/lembaga permasyarakatan), tidak mendapatkan izin mengemudi, atau tidak adanya akses gadget, namun ia fokus untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan pembinaan karakter, agama hingga mental.

Bisakah Anak yang Berkonflik dengan Hukum Dipenjara?

Lalu timbul pertanyaan, apakah sejatinya terdakwa anak bisa dipenjara? Tentu istilah yang kita gunakan bukanlah penjara, melainkan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Disini, anak akan kehilangan sejumlah keuntungan dan hak kebebasan, namun UU Pidana Anak tetap menjamin harkat dan martabatnya tetap terpenuhi. Yakni melalui penyediaan makanan bergizi yang layak, pelatihan kerja, pembinaan karakter dan agama, serta berbagai pelatihan lain yang dibutuhkan anak yang berkonflik dengan hukum.

UU Pidana Anak juga menyebutkan bahwa durasi pidana penjara bagi terdakwa anak tidaklah lebih dari ½ ancaman pidana penjara bagi terdakwa dewasa. Ketika terdakwa anak mendapatkan ancaman hukuman mati/penjara seumur hidup, maka akan berlaku setengahnya, yakni pidana penjara maksimal 10 tahun,

Bahkan, ketika anak sudah menjalani ½ masa hukumannya, berkelakuan baik, maka mereka berhak untuk dapatkan pembebasan bersyarat. Hal ini kita maksudkan bahwa pidana penjara adalah upaya terakhir dalam mengatasi permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum.

Konsultasi Seputar Hukum, Pendampingan dan Layanan Profesional?

Jika Anda ingin berkonsultasi terkait hukum, membutuhkan layanan pendampingan hukum secara professional, jangan ragu hubungi tim kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *