Omnibus Law Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih menjadi polemik. Keputusan yang syarat ketidakberpihakan kepada buruh, terutama buruh kontrak menjadi sorotan publik. Beruntungnya, aksi yang terus bergulir di kalangan buruh dan masyarakat cukup membuahkan hasil. Pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi, perwakilan buruh dan sejumlah pihak terkait akhirnya menggelar diskusi.
Beruntungnya, diskusi tersebut membuahkan hasil. Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam hal ini berperan sebagai algojo tertinggi sah atau tidaknya sebuah hukum akhirnya memutuskan bahwa UU 11/2020 Cipta Kerja Inskonstitusional secara bersyarat. Putusan ini bahkan disampaikan langsung oleh Ketua MK, Anwar Usman pada sidang uji formil UU 11/2020 Cipta Kerja pada November silam.
Keputusan inskonstitusional bersyarat ini mengharuskan UU 11/2020 Cipta Kerja harus segera direvisi dalam jangka waktu 2 tahun. Selama jangka waktu tersebut, maka poin demi poin dalam UU 11/2020 masih berlaku sebagaimana mestinya. Jika saja dalam 2 tahun nanti poin UU belum direvisi secara total, maka otomatis, UU yang mengandung polemik tersebut secara otomatis akan dianggap inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Alasan MK Dibalik Keputusan Inkonstitusional Bersyarat pada UU 11/2020
Sejumlah tokoh politik, pengusaha dan investor pun mulai menyoroti keputusan MK terkait Inkonstitusional bersyarat meski sejumlah pihak meng claim bahwa hal tersebut tidak akan mempengaruhi kondisi investasi di Tanah Air. Pun, hal tersebut juga tidak akan menurunkan minat para investor untuk berinvestasi di Indonesia. Rupanya, banyak pengusaha yang khawatir jika polemik UU Cipta Kerja bisa berdampak pada menurunnya minat investor mengingat angka ketertarikan tersebut yang hingga kini masih sangat tinggi.
Namun di balik kekhawatiran para pengusaha, MK tetap pada keputusan bahwa UU Cipta Kerja 11/2021 berstatus Inskonstitusional bersyarat dan harus dilakukan perbaikan selama jangka waktu 2 tahun. Pertimbangan Anwar cs adalah ketidakjelasan pada penggabungan UU Cipta Kerja, apakah hal tersebut bagian dalam pembuatan atau melakukan revisi. Lebih lanjut, pembentukan UU Cipta Kerja dianggap tidak memegang asas keterbukaan pada publik kendati pada praktiknya proses pembentukannya sudah melibatkan pertemuan dengan sejumlah pihak.
Tidak cukup sampai disitu, UU Cipta Kerja 11/2020 dianggap tidak transparan dan tidak banyak berpihak kepada rakyat, khususnya para buruh kontrak. Poin per poin dalam undang-undang bahkan publik tidak bisa dengan mudah mengkases poin per poin draft UU Cipta Kerja.
Sekali lagi, MK dan sejumlah tokoh politik tetap berusaha meyakinkan para pengusaha dan investor bahwa polemik UU Cipta Kerja hingga status Inkonstitusional bersyarat ini tidak akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Dengan berbagai ketentuannya, MK berharap bahwa UU 11/2021 bisa segera mendapatkan perbaikan dalam jangka waktu 2 tahun kedepan.
Polemik di Balik UU Cipta Kerja 11/2021
Sebelumnya, terciptanya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2021 melahirkan sejumlah protes keras dari kalangan buruh, terutama buruh kontrak. Poin per poin yang ada dianggap tidak pro dengan kesejahteraan buruh dan bahkan dianggap menyalahi konstitusi. Berbagai aksi pun bergulir hingga puncaknya terdapat demostrasi besar-besaran di sejumlah wilayah di Indonesia menolak disahkannya aturan tersebut.
Upaya negosiasi pun diambil oleh sejumlah pihak, salah satunya dari pihak publik. Mencuat 5 nama penggugat UU Cipta Kerja yang beruntungnya, gugatan tersebut didengar dan dikabulkan oleh MK. Kelima penggugat tersebut adalah seorang yang berstatus karyawan, Hakimi Irawan, seorang pelajar bernama Novita Widyana serta 3 mahasiswa, Elin Diah, Alin Septiana dan Ali Sujito.
Meski memiliki kontek yang berbeda-beda, namun kelima penggugat tersebut sepakat satu suara bahwa UU Cipta Kerja 11/2021 telah menyalahi konstitusi, apapun alasannya. Di sisi karyawan, Hakimi Irawan menganggap jika UU Cipta Kerja sangat berbahaya.
Bahaya tersebut diantaranya bisa berpotensi menghapus ketentuan aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Hal ini akan berdampak pada kerugian hak konstitusional seperti menghapus sebagian hak atau kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja, hilangnya sebagian waktu istirahat mingguan hingga menghapus sanksi bagi pelaku yang tidak membayar upah sesuai dengan ketentuan konstitusi.
Sementara itu, di sisi pelajar, Novita Widyana menganggap jika UU Cipta Kerja 11/2021 akan merugikan statusnya nanti. Dimana, nantinya pasca lulus dan memasuki dunia kerja Novita dan seluruh rekan-rekannya berpotensi hanya akan menjadi pekerja kontrak tanpa ada harapan untuk bisa menjadi pekerja tetap.
Kemudian, di pihak penggugat mahasiswa, yang notabene mereka adalah mahasiswa di bidang Pendidikan, Elin Diah dkk menganggap jika UU Cipta Kerja 11/2021 berpotensi menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis. Hal ini karena bidang pendidikan masuk dalam cluster UU Cipta Kerja 11/2020. Jelas, hal ini sudah menciderai konstitusi pendidikan jika didalamnya terdapat unsur tujuan untung dan rugi.