Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menorehkan putusan fenomenal yang memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan di bidang hukum pidana yang dibacakakan pada hari Selasa, (9/1) kemarin. Putusan itu mengantongi Nomor 130/PUU-XIII/2015.
Putusan tersebut berawal dari permohonan uji materiil oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) terhadap beberapa pasal dalam UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP seperti Pasal 14 huruf b, dan i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), serta Pasal 139 KUHAP.
Pasal-pasal tersebut menurut pandangan MaPPI FHUI memperlemah peran penuntut umum dalam proses prapenuntutan sehingga sering menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarut-larutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan.
Namun tidak seluruh permohonan uji materiil terhadap pasal-pasal di atas dikabulkan oleh MK, melainkan hanya Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan pasal tersebut dimaknai menjadi “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
Berkaitan dengan putusan di atas, Mahkamah Konstitusi memberi penafsiran sebab akibat dari norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP berupa “apabila tidak dilakukan pemberitahuan kepada penuntut umum, maka penyidikan harus dianggap batal demi hukum”.
Dengan demikian SPDP tidak dianggap sebagai bentuk kelengkapan administrasi belaka melainkan dianggap sebagai implementasi prinsip check and balance antara penyidik dengan penuntut umum, terlapor, korban/pelapor. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dianggap telah terjadi cacat prosedural dalam tahapan penyidikan karena dipandang penyidikan yang dilakukan tidak transparan dan tanpa adanya pengawasan.
Cacatnya prosedural dalam penyidikan mengakibatkan segala proses yang dilakukan pada tahap penyidikan sebelum disampaikannya SPDP adalah bersifat unlawfull dan berimplikasi pada segala tindakan yang telah dilakukan dalam tahapan penyidikan harus dinyatakan batal demi hukum.
Adapun konsekuensi bagi penyidik apabila melewati batas 7 hari belum menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor maka penuntut umum dapat menolak berkas perkara yang diajukan penyidik. Apabila penuntut umum memaksakan untuk menerima berkas perkara itu maka kemungkinan tersangka (terlapor) akan memanfaatkan keterlambatan tersebut untuk mengajukan praperadilan.
Dengan demikian, keterlambatan pengiriman SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor telah memperluas atau menambah objek praperadilan. Di mana sebelumnya MK juga telah memperluas objek praperadilan lainnya seperti penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan berdasarkan putusan MK Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
*Dr Reda Manthovani SH LLM
Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan juga Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat
Sumber: Detik.com