Penegakan HAM – Perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat pada 3 September 2021 lalu menjadi bukti bahwa masih lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Negara yang seharusnya melindungi setiap hak-hak warga negara untuk berkeyakinan dinilai setengah-setengah ketika kasus perusakan simbol agama masih saja terjadi di dalam negeri.
Penanganan kasus perusakan masjid Ahmadiyah oleh pihak kepolisian juga dinilai cukup lamban. Beruntungnya, desakan publik yang cukup besar membuat pihak kepolisian setempat berhasil meringkus setidaknya 14 tersangka perusakan. Belasan tersangka tersebut mengaku menjadi bagian salah satu kelompok agama Islam di Kalimantan. Hingga kini, pihak kepolisian pun masih terus mendalami alasan tersangka melakukan perusakan serta tetap melakukan sejumlah upaya antisipasi serangan susulan.
Anti Anarkisme Harus Ditegakkan
Apapun alasannya, tindakan anarkisme sama sekali tidak boleh dibenarkan. Kasus Ahmadiyah menjadi bukti bahwa masih ada banyak oknum yang menganggap bahwa jalan kekerasan adalah upaya paling tepat untuk menghadapi oknum lain yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Bukan bermaksud untuk membenarkan paham Ahmadiyah dan sejumlah gerakannya yang juga dianggap berupaya menebarkan fatwa bahwa ada nabi setelah Muhammad. Namun, tindakan kekerasan, terlebih dengan perusakan simbol-simbol keagamaan sudah seharusnya dihindari, apapun alasannya.
Meski pihak kepolisian hingga kini masih terus mendalami kasus perusakaan masih jemaat Ahmadiyah, namun sejatinya kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa HAM bukanlah hanya sekedar hukum tertulis dalam perundang-undangan. Ini adalah sebuah pedoman aksi dimana Hak Asasi Manusia adalah hal mutlak yang dimiliki oleh masing-masing manusia.
Tindakan kepolisian untuk terus berjaga di sekitar komplek perumahan jemaat Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat juga patut untuk diapresiasi. Kewaspadaan terhadap adanya serangan kedua harus senantiasa dipupuk dengan tentunya tindakan tegas jika seandainya penyerangan kembali terjadi. Sudah menjadi keharusan, jika yang melakukan kesalahan dengan tindak kekerasan dan perusakan fasilitas publik haruslah diusut tuntas. Bukankan ini adalah sikap yang adil ketika sejumlah pengurus Ahmadiyah juga diperiksa oleh lembaga berwenang terkait penyebaran fatwa-fatwa yang menyimpang?
Belajar dari Kasus Perusakan Masjid Ahmadiyah
Kemudian, langkah tepat selanjutnya adalah dengan terus belajar dari setiap kasus pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Pasalnya, perusakan fasilitas umum dan upaya penyerangan terhadap kelompok atau organisasi yang berbeda bukanlah satu atau dua kali terjadi di Indonesia. Setidaknya, ini menjadi yang kesekian kalinya terjadi dan tentu amat sangat disayangkan dimana Indonesia juga menjadi negara yang lantang menyuarakan penegakan HAM.
Belajar dari kasus kerusakan Masjid Ahmadiyah dan upaya untuk menghindari aksi-aksi anarkisme, setidaknya diperlukan sejumlah tindakan pendekatan secara moril. Upaya pendekatan dan diskusi secara keilmuan oleh sejumlah pihak terkait (Dalam hal ini Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia beserta pentolan-pentolan Ahmadiyah) setidaknya perlu untuk digalakkan.
Melalui diskusi keilmuan tentunya bisa ditemukan benang merah atas kasus Ahmadiyah yang sejak awal senantiasa menimbulkan kontroversi. Jika memang ditemukan ada fatwa menyimpang, sejatinya lembaga berwenang terkait punya win win solution yang manfaatnya adalah untuk kemaslahatan umat.
Ketika kedua pihak terkait bisa duduk bersama dengan kepala dingin dan berdiskusi panjang terkait keilmuan, tentunya akan melahirkan toleransi beragama yang humanis. Lebih lanjut, upaya pendekatan secara sosial serta pendampingan (jika memang ditemukan tindakan dan paham menyimpang) adalah tindakan jauh yang lebih baik ketimbang harus ditempuh dengan jalur kekerasan dan perusakan fasilitas publik.