Raja Salman dari Arab Saudi akan berkunjung ke Indonesia mulai tanggal 1 sampai 9 Maret nanti. Ini adalah kunjungan yang bersejarah, mengingat sudah 47 tahun Raja Arab Saudi tak berkunjung ke Indonesia. Pakar kajian Timur Tengah menakar agenda politik di balik tur akbar Raja Salman ini.
Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Universitas Indonesia (UI), Abdul Muta’ali, memandang agenda politik Raja Salman paling mutakhir tak bisa dilepaskan dari dinamika terkini yang terjadi di kancah internasional. Kini Saudi mulai memandang Amerika Serikat bukan lagi teman sejati satu-satunya.
“Saat ini sangat sulit bagi Saudi menjadikan AS sebagai special friend. Masalahnya bukan hanya karena Trump effects,” kata Abdul saat berbincang dengan detikcom, Senin (27/2/2017).
Presiden AS Donald Trump memang dikenal dengan kebijakan kontroversialnya, terlebih sikapnya terhadap negara-negara berpenduduk Muslim. Namun lebih dari itu, Saudi memandang Amerika bukan satu-satunya kekuatan di dunia ini. Kini telah bermunculan kekuatan-kekuatan baru di Timur Jauh.
“Geliat ekonomi Asia yang perlahan tapi pasti itu mengagetkan bukan hanya Amerika, tapi juga Eropa,” kata Abdul.
Memang, Raja Salman bukan hanya berkunjung ke Indonesia, namun juga berkunjung ke negara-negara Asia lainnya, yakni Malaysia, Brunai, Jepang, China, Maladewa, dan Yordania.
Selain itu, Arab Saudi juga mempertimbangkan problem gejolak peperangan di Timur Tengah. Konflik di Suriah ternyata lebih rumit dari yang diperkirakan. AS dipandang Saudi semakin sulit diandalkan, karena AS justru malah sibuk dengan masalahnya sendiri.
“34 Aliansi militer di bawah komando Riyadh (Saudi) nampaknya belum ampuh menggetarkan pemerintahan Bashar Al Assad yang dibekingi Teheran dan promotornya Rusia,” ujar Abdul.
Jadi ada tegangan antar kubu dalam konflik di Timur Tengah. Namun Indonesia yang kini dipimpin Presiden Jokowi mempertahankan politik bebas aktif, suatu prinsip politik yang sudah dipegang sedari Republik ini berusia belia. Jokowi sendiri juga mengunjungi Iran dan bertemu Presiden Hassan Rouhani pada pertengahan Desember 2016 lalu.
(Baca juga: Jokowi dan Rouhani Bahas Penyelesaian Konflik di Timur Tengah dan Myanmar)
Di titik inilah terlihat permainan ciamik politik internasional Indonesia yang dinakhodai Jokowi. Indonesia tidak bergabung dengan blok Iran dan Rusia, namun juga tidak bergabung dengan blok Saudi dan Amerika Serikat.
“Indonesia bermain cukup cantik dengan tidak bergabung dengan aliansi militer tersebut, dan tidak pula bermakmum kepada Iran. Saya melihat, Saudi mencoba meminang Indonesia agar keluar dari politik bebas aktifnya,” tilik Abdul.
Yang jauh lebih penting, Jokowi diharapkan bakal memanfaatkan kunjungan Raja Salman demi kepentingan Indonesia sendiri. “Jokowi bisa memainkan dua peran sekaligus. Kepentingan politik pemerintahannya dan tentunya kepentingan nasional Indonesia,”
Sumber: Detik.com