Pemerintah telah menerbitkan Permenaker No.7 Tahun 2017 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Peraturan itu intinya mengalihkan penyelenggaraan asuransi bagi buruh migran Indonesia yang tadinya dikelola melalui sejumlah perusahaan asuransi yang tergabung dalam konsorsium sekarang beralih menjadi jaminan sosial yang digelar BPJS. Permenaker yang diundangkan 28 Juli 2017 itu terancam digugat oleh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Relawan Berbicara Jokowi-JK. Koordinator koalisi, Amirullah Hidayat, menilai kebijakan tersebut merugikan buruh migran Indonesia. Permenaker itu dinilai tidak memiliki landasan hukum. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hanya mengamanatkan BPJS untuk menyelenggarakan 5 jenis jaminan sosial yaitu Jaminan Kesehatan (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM).
“Tidak ada satu pasal dalam UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengatur jaminan sosial bagi TKI,” kata Amirullah kepada wartawan di Jakarta, Selasa (1/8). Begitu pula UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, menurut Amirullah tidak menyebut tentang jaminan sosial. Pasal 26 UU PPTKILN memerintahkan agar TKI ikut program jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) dan/atau memiliki polis asuransi. Dalam penjelasan, perlindungan asuransi yang dimaksud sedikitnya sama dengan program Jamsostek. Menurut Amirullah ketentuan ini menekankan TKI wajib mengikuti program asuransi.
Bagi Amirullah penekanan asuransi bagi TKI ada di Pasal 68 UU PPTKILN yang menyebut pelaksana penempatan TKI swasta wajib menginstruksikan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi. Program asuransi itu diatur lebih lanjut lewat peraturan menteri.
Amirullah menghitung risiko yang ditanggung jaminan sosial TKI sebagaimana diatur Permenaker lebih sedikit jumlahnya daripada yang sebelumnya dijamin oleh konsorsium asuransi. Misalnya, jaminan sosial TKI tidak menjamin risiko gagal berangkat karena bukan kesalahan calon TKI, mendapat kekerasan fisik dan pemerkosaan/pelecehan seksual, menghadapi masalah hukum dan dipindahkan ke tempat kerja lain yang tidak sesuai perjanjian. Menurut Amirullah, pemerintah seharusnya mengajak para pemangku kepentingan dalam membahas asuransi bagi TKI seperti pihak konsorsium asuransi, TKI, PJTKI/PPTKIS dan BPJS. Kebijakan itu harus dikaji lebih cermat dan matang sehingga mampu memberi perlindungan yang komprehensif terhadap buruh migran Indonesia.
Guna membenahi persoalan itu koalisi berencana mengajukan gugatan uji materi terhadap Permenaker ke Mahkamah Agung. “Kami sedang menyusun gugatan. Rencananya pekan depan kami layangkan gugatan ke Mahkamah Agung,” ujarnya.
Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, melihat pasal yang tercantum dalam Permenaker tidak konsisten. Misalnya, Pasal 2 mewajibkan calon buruh migran Indonesia terdaftar program jaminan sosial. Tapi Pasal 3 hanya mewajibkan calon TKI ikut program JKK dan JKM, program JHT sifatnya sukarela atau tidak wajib.
“Ketentuan ini membingungkan, yang wajib bagi TKI itu program yang mana saja?” tukasnya di Jakarta, Jumat (4/8). Selanjutnya Pasal 19 dan 20 Permenaker membedakan manfaat yang diterima TKI yang meninggal dunia yaitu mengenai beasiswa bagi satu orang anak peserta. Ketentuan itu mengatur bagi TKI yang meninggal dunia sebelum dan setelah penempatan tidak mendapat manfaat berupa beasiswa pendidikan bagi anak. Manfaat berupa beasiswa itu hanya diterima untuk TKI yang meninggal dunia selama masa penempatan.
Menurut Timboel Permenaker ini terbit karena konsorsium asuransi TKI berakhir pada akhir Juli 2017. Pada saat yang sama DPR dan pemerintah belum menyelesaikan revisi UU PPTKILN. Harusnya, jaminan sosial TKI ini diamanatkan dalam UU yang merupakan hasil revisi UU PPTKILN.
Sumber: Hukumonline.com