Melaksanakan poligami tak selalu berakhir indah. Data rekapitulasi perceraian yang diproses Pengadilan Agama dan dicatat oleh Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan pada 2015 ada 252.857 cerai gugat dan 98.808 cerai talak. Di antara sekian banyak alasan yang terungkap, ada 7.476 kasus perceraian akibat poligami yang tidak sehat atau tak berjalan semanis madu. Persentase kasus ini sebesar 2,5 persen dari keseluruhan faktor-faktor penyebab.
Pemerintah telah mengantisipasi kemungkinan tak semanis madu ini sejak satu dekade lalu. Dirjen BIMAS Islam Departemen Agama 2007 yang kini menjadi Imam Besar Masjid Negara Istiqlal, Nasyaruddin Umar, menyajikan data yang menunjukkan poligami justru menjadi salah satu penyebab utama perceraian. Menurut catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, pada 2004, menurut Nasyaruddin, terjadi 813 perceraian akibat poligami. Pada 2005, angka itu naik menjadi 879 dan pada 2006 melonjak menjadi 983.
“Data-data ini menunjukkan poligami justru melanggengkan dan menyebabkan perceraian. Poligami jadi penyebab utama bubarnya suatu perkawinan,” kata Nasyaruddin sebagaimana dikutip dalam itusweb Kementerian Agama.
Poligami pun, lanjut dia, juga menyebabkan terlantarnya perempuan dan anak-anak. Syarat ijin istri yang harus diperoleh seorang pria untuk berpoligami seperti yang diatur dalam UU Perkawinan, kata Nasyaruddin, dimaksudkan untuk menghindari dampak buruk akibat poligami. UU Perkawinan, lanjut dia, sama sekali tidak menutup pintu untuk berpoligami, namun hanya mengatur syarat-syaratnya.
Lima tahun silam pendiri Women Crisis Center (WCC) Jombang dan akademisi IAIN Walisongo Semarang Siti Hikmah mempublikaskan dampak negatif poligami yang harus ditanggung oleh istri perempuan pertama alias pihak yang bersedia dimadu dalam tulisannya pada Jurnal SAWWA Vol. 7, April 2012.
Siti mengutip data LBH APIK Jakarta yang mengadakan riset terhadap 107 istri yang dipoligami oleh suaminya. Dampak paling banyak yang dialami oleh 37 responden adalah tidak diberi nafkah. Dampak negatif lain lebih beragam, tapi masih dalam penderitaan yang serupa. Sebanyak 23 perempuan ditelantarkan atau ditinggalkan suaminya dan 21 lain mendapat tekanan psikis yang menyiksa. Responden lain harus menjalani pisah ranjang (11), mendapat penganiayaan fisik (7), diceraikan suaminya (6), sampai mendapat teror dari istri kedua (2).
Sementara itu, menurut riset LSM Rifka Annisa, perempuan yang berumah tangga dengan laki-laki yang memiliki affair dengan perempuan lain rentan mengalami tindak kekerasan. Jenis kekerasan emosional mencapai 46,1 persen, kekerasan fisik 29,4 persen, kekerasan ekonomi 5,6 persen, dan kekerasan seksual 18,9 persen.
Riset Rifka Annisa lain makin membuktikan bahwa tak hanya istri resmi dalam bingkai pernikahan monogami saja yang menjadi korban kekerasan oleh suaminya. Persentasenya hanya 48,6. Sisanya yakni 51,4 persen adalah perempuan-perempuan dengan macam-macam status. Ada yang dipoligami resmi (2,5 persen), dipoligami siri (5,1 persen), korban selingkuh (36,3), ditinggal pergi suami (2,5 persen), dicerai (4,2 persen), sebagai istri kedua (0,4 persen), atau dijadikan wanita idaman lain (0,4 persen).
Sumber: tirto.id