Mengapa Hukum Angkasa Penting bagi Indonesia?

Sebagai negara berkembang yang bukan merupakan aktor utama dalam dunia perantariksaan (non-space faring nation) serta masih sibuk bergulat dengan pemberantasan korupsi dan kemiskinan, sangat wajar jika hukum angkasa (space law) masih terasa asing bagi Indonesia. Baik kegiatan maupun riset Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memang bukanlah tandingan NASA, European Space Agency (ESA), atau perusahaan swasta milik Elon Musk dan Richard Branson yang telah melakukan penerbangan sub-orbital (sub-orbital flights) dengan SpaceShipTwo dan akan mengeksplorasi Bulan dan Mars (space mining) dalam waktu dekat. Sebagai gambaran singkat, keberhasilan penyelenggaraan penerbangan sub-orbital berpotensi untuk dikembangkan menjadi penerbangan komersial berjadwal; dimana rute London-Sydney dapat ditempuh hanya dalam waktu dua jam.

Saat ini kegiatan antariksa yang berhubungan erat dengan Indonesia adalah pengoperasian satelit. Berdasarkan ketinggian, terdapat empat ruang bagi satelit di ruang angkasa; Geo Stationary Orbit (GSO) adalah yang paling spesial mengingat periode rotasinya sama dengan bumi. Berada di ketinggian sekitar 35.787 km di atas garis khatulistiwa, satelit seolah-olah membayangi suatu wilayah secara statis. Hal ini menjadikan GSO sangat vital bagi negara kepulauan untuk merajut jaringan komunikasinya.

Indonesia-bersama Brazil, Ekuador, Kenya, Kolombia, Kongo, Uganda, dan Zaire – sempat menggegerkan dunia internasional dengan menandatangani Deklarasi Bogota 1976. Mereka hendak mengklaim GSO sebagai wilayah kedaulatannya (sovereignty) yang mana bertentangan dengan magna carta hukum angkasa, the Outer Space Treaty of 1967; yaitu tidak boleh ada klaim kedaulatan oleh negara manapun di luar angkasa.

Di tengah-tengah keberatan dunia internasional, jangan diartikan tindakan negara-negara khatulistiwa tersebut egois dan tidak beradab. Saat itu hanya segelintir negara maju yang dapat meluncurkan satelit dan mereka takut keberlakuan prinsip first come first served pada orbit ini berarti eksploitasi GSO tanpa menyisakan manfaat sedikitpun bagi negara-negara khatulistiwa yang notabene adalah negara berkembang.

Guna menciptakan keadilan di GSO, International Telecommunication Union (ITU) memastikan ketersediaan sejumlah slot bagi negara-negara khatulistiwa. Slot tersebut dialokasikan ITU berdasarkan prinsip kegunaan dan bukan kepemilikan (right to use and not to own), tidak dapat diperjualbelikan, serta tidak dapat dibiarkan menganggur lama-sekali kehilangan slot karena jangka waktu terlewat atau kadaluarsa, akan sulit memperolehnya kembali. Maka terlepas dari pertimbangan komersial, inilah yang menjadi alasan kuat bagi Indonesia untuk meluncurkan satelit ke GSO secara berkala; terakhir Satelit Telkom 3S pada Februari 2017.

Pada tahun 2002, Australia sempat berniat mendirikan Australian Spaceport dengan situs peluncuran (launching site) termutakhir di Christmas Islands. Pasca tragedi 9 September 2001, rupanya negara kangguru ini hendak tampil sebagai sheriff di Asia Pasifik. Sebagai negara berdaulat, jelas Australia bebas memilih lokasi selama masih berada di dalam jurisdiksinya. Namun, ketika bersinggungan dengan kepentingan negara lain, maka kehadiran the Outer Space Treaty of 1967 tidak dapat dikesampingkan.

Jarak Christmas Islands dengan Jakarta kurang lebih 491 km; yakni masih dalam radius 1.000 km yang merupakan zona berisiko dalam peluncuran wahana antariksa. Realisasi rencana Australia berarti ibu kota dan jutaan rakyat Indonesia akan terancam setiap kali dilakukan peluncuran. Belum lagi ruang udara yang harus ditutup saat wahana antariksa diluncurkan. Mengingat ancaman nyata tersebut, Pasal 9 the Outer Space Treaty of 1967 mewajibkan Australia berkonsultasi dengan Indonesia sebelum mendirikan situs peluncuran di Christmas Islands. Adalah hak Indonesia untuk menolak pembangunan tersebut guna menjamin keamanan dan perekonomian nasional. Kisah ini berakhir indah ketika Indonesia berhasil menolak proposal Australia dengan menggunakan ketentuan hukum angkasa.

Polemik mengenai penjualan saham Indosat juga layak disimak mengingat Indonesia bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan satelit Indosat Ooredo berdasarkan the Liability Convention of 1972. Penjualan saham Indosat sendiri merupakan dampak fenomena privatisasi dan penanaman modal asing (foreign direct investment); saat ini Pemerintah Indonesia hanya memiliki 14.29% saham Indosat. Qatar Telcom melalui Ooredo Asia Pte. Ltd. menjadi pemegang saham mayoritas Indosat (65%); sementara sisanya (20.71%) dimiliki publik.

Secara matematis Ooredoo Asia Pte. Ltd. memiliki kontrol efektif terhadap manajemen Indosat. Logikanya, perusahaan Singapura tersebut juga harus bertanggung jawab, mungkin sebesar porsi kepemilikan saham, seandainya Indosat menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga. Sayangnya logika sederhana ini tidak dapat diterapkan begitu saja ketika berbicara mengenai tanggung jawab atas pengoperasian satelitnya.

Ketika satelit Indosat diluncurkan, Indonesia akan terdaftar sebagai pihak yang bertanggung jawab; sementara Singapura (Ooredo Asia Pte. Ltd.) dan Qatar (Qatar Telcom) belum tentu. Berdasarkan konvensi yang dibuat hampir setengah abad lalu, kegiatan keantariksaan diyakini hanya dapat dilakukan oleh negara; maka hanya negara pemilik satelit, tempat satelit diluncurkan, dan peluncur satelit yang terdaftar. Perlu diingat bahwa berdasarkan the Liability Convention of 1972 tanggung jawab berada di pundak negara, bukan swasta, sehingga pemberian ganti kerugian dilakukan antar pemerintah.

Patut dipertanyakan apakah Pemerintah Singapura dan Qatar mau turut bertanggung jawab dan membayarkan ganti kerugian seandainya kerusakan benar-benar terjadi. Jangan sampai pemerintah harus menyediakan dana lebih besar dari porsi saham yang dimilikinya, yang berarti menombok ‘kewajiban’ pihak lain dengan menggunakan dana APBN. Urgensi pembelian kembali mayoritas saham Indosat Ooredo oleh Pemerintah Indonesia adalah nyata.

Tiga kasus di atas menjelaskan pentingnya hukum angkasa bagi Indonesia. Saat ini, sebagai bentuk langkah awal, kita telah memiliki Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang sejalan dengan tujuan the Outer Space Treaty of 1967, yakni pemanfaatan ruang angkasa demi kesejahteraan umat manusia. Masih banyak isu lain, seperti space mining dan penerbangan sub-orbital, yang akan bersinggungan dengan kepentingan nasional serta perlu dibahas dalam waktu dekat. Saatnya membuka pintu lebih lebar bagi hukum angkasa melalui kurikulum pendidikan.

Sumber: hukumonline.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *