LPS Emban Amanah Baru dalam Menjaga Stabilitas dan Menangani Krisis Keuangan

Sejak berdiri pada 2005 lalu hingga saat ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai undang-undang yang berlaku, yakni menjamin simpanan nasabah penyimpan di bank dan ikut aktif menjaga stabilitas sistem keuangan sesuai kewenangannya.

Dalam jangka waktu tersebut, LPS telah membayarkan klaim atas 152.883 rekening simpanan  dari 75 bank, baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), yang ditutup atau dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sebelumnya Bank Indonesia (BI).

Pada April 2016 lalu, DPR telah mengesahkan Undang-Undang  No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penengahan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).  Peraturan ini disahkan dengan tujuan memperkuat stabilitas sistem keuangan melalui protokol penanganan krisis keuangan jika suatu saat terjadi krisis.

UU PPKSK memberikan amanah lebih besar yang harus diemban oleh LPS dalam turut menjaga stabilitas keuangan dan penanganan krisis keuangan. LPS sendiri tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama Bank Indonesia (B), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Keuangan.

Keempat lembaga ini memiliki peran sangat penting dalam menanganani krisis keuangan. Belajar dari pengalaman penaganan krisis keuangan yang terjadi pada 1997 – 1998 silam, negara harus mengeluarkan biaya sangat besar untuk menangani krisis, seperti adanya bail out terhadap bank yang dicabut izinnnya.

Beberapa amanah baru yang diemban oleh LPS dengan berlakunya UU PPKSK, antara lain adalah kewenangan khusus untuk menjalankan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) ketika terjadi krisis. Dalam hal penyelamatan bank, bila sebelumnya LPS hanya memiliki satu instrumen, yaitu penyertaan modal sementara (PMS), dengan UU PPKSK instrumen penyelamatan bank ditambah dengan dua metode lainnya.

Metode pertama adalah purchase and assumption (P&A), yaitu metode resolusi dengan mengalihkan aset dan kewajiban bank bermasalah kepada bank penerima. Sementara metode kedua adalah bridge bank (bank perantara), yaitu bank yang didirikan oleh LPS untuk menerima pengalihan aset dan kewajiban bank bermasalah.

Guna mengoptimalkan pelaksanaan fungsi dan tugasnya, LPS saat ini telah  banyak melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, seperti perguruan tinggi, kantor akuntan publik, auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangungan (BPKP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Kejaksaan.

Oleh karena itu, seiring dengan dinamika perkembangan situasi keuangan, khususnya perbankan, LPS akan senantiasa meningkatkan dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.

Sumber: Kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *